Pengalaman Berbisnis IT Software House, Ini 10 Hal yang Saya Pelajari

Pengalaman Berbisnis IT – Berbisnis IT software house dan freelance, telah saya tekuni sejak tahun 2010. Dimulai dari freelance sebagai side job, hingga mendirikan PT bersama klien. Selama kurang lebih 10 tahun tersebut, banyak hal yang telah saya pelajari. Saya merangkum pengalaman berbisnis IT software house tersebut dalam artikel ini. Saya menuliskannya agar dapat menjadi bekal bagi rekan-rekan yang ingin memulai bisnis IT maupun freelance. Mari simak.

10 Hal yang Saya Pelajari dari Pengalaman Berbisnis IT Software House

1. Tidak perlu modal (uang), tapi jika ada akan sangat membantu

Banyak yang mengeluhkan tidak adanya modal menghalangi mereka untuk berbisnis. Bisnis software house (dan beberapa bisnis jasa lainnya), relatif tidak membutuhkan modal besar. Anda cukup memiliki sebuah laptop dan kemampuan IT di bidang pemrograman, sudah dapat menjalankan bisnis ini.

Saya pun demikian, memulai freelance hanya bermodalkan komputer keluarga, kartu nama, proposal, dan brosur. Semua itu jika ditotal hanya membutuhkan Rp300 ribu. Relatif kecil. Namun, jika Anda memiliki modal lebih, Anda dapat bergerak lebih cepat.

Setelah memutuskan untuk full-time mendirikan software house, saya mendapatkan proyek pertama di sebuah politeknik. Membangun Sistem Akademik dari awal, tentu bukan pekerjaan yang mudah. Oleh karena itu, saya membutuhkan asisten programmer. Akhirnya saya mengajak salah seorang ex-rekan kantor di perusahaan sebelumnya. Namun, dia tidak memiliki komputer atau laptop.

Merekrut seorang staf, tentu membutuhkan modal. Mempersenjatai mereka dengan alat perang yang sesuai, juga butuh modal. Ditambah jika membutuhkan tempat kerja bersama, butuh modal lagi. Betul, bisnis software house ini tidak membutuhkan banyak modal. Namun, jika ada modal akan sangat membantu.

2. Pisahkan keuangan perusahaan dan pribadi

Di awal merintis usaha software house, perusahaan tidak memiliki rekening sendiri. Saya menjadikannya satu dengan rekening pribadi saya. Namun saya memiliki catatan berapa yang menjadi milik perusahaan, berapa yang milik saya pribadi. Ini sebuah kesalahan!

Anda wajib memisahkan rekening perusahaan dan pribadi. Agar jelas! Jelas milik perusahaan, jelas milik pribadi. Ketika saya melihat uang di rekening masih banyak, saya lalai. Nyatanya, sebagian besar adalah uang milik saya pribadi. Sehingga saya tidak menyadari bahwa keuangan perusahaan sedang merah.

3. Pahami lingkup pekerjaan sebelum memberikan penawaran harga

Di tahun 2012, saya direferensikan oleh rekan dosen kepada seorang pengusaha komputer besar. Beliau sedang ada proyek pengembangan aplikasi di Kalimantan. Beliau bercerita bahwa proyeknya sudah 90%, hampir selesai. Namun karena satu dan lain hal, pengembangnya tidak dapat melanjutkan. Diperlihatkanlah produk yang sedang dibangun. Oke, sepertinya sudah cukup lengkap.

Selesai pertemuan, saya bergegas membuat penawaran harga. Saya kirim ke Beliau dan nilai kontrak disepakati. Termin pertama masuk, dan seminggu kemudian berangkat ke Kalimantan. Bertemu dengan pengguna.

Ketika tiba di kantor pengguna, saya dan tim disambut dengan muka masam. Meeting pertama dengan pengguna penuh dengan tekanan. Mereka menyampaikan banyak kekurangan dari aplikasi yang sedang dibangun. Setelah saya lakukan assessment, ternyata benar! Pekerjaannya masih banyak! Wah, bagaimana ini sudah tanda tangan kontrak.

Pembelajaran yang ketiga ini, Anda wajib memahami benar apa yang akan dikerjakan. Kesalahan dalam menganalisis kebutuhan pengguna, dapat berakibat ketidakakuratan dalam menilai besaran proyek.

4. Penjualan itu penting, tapi arus kas lebih penting

Masih menyambung cerita proyek di Kalimantan. Setelah mengetahui lingkup pekerjaan yang masih banyak, saya melakukan negosiasi ulang dengan customer. Beliau menerima alasan saya dan sepakat dengan penawaran yang baru. Proyek ini cukup besar bagi saya, bahkan sampai sekarang. Ini merupakan proyek terbesar yang pernah saya tangani. Sehingga saya merekut 2 business analyst dan 3 programmer baru.

Masalah timbul ketika kas perusahaan menipis. Terlanjur senang dengan nilai kontrak yang besar, saya tidak memikirkan modal untuk membayar gaji pegawai. Saya putuskan untuk nego lagi dengan customer. Saya meminta termin pembayaran disesuaikan menjadi bulanan. Mungkin Beliau berpikiran saya tukang nawar. Hahaha.. Proyek belum setengah jalan sudah nego kontrak 2 kali.

5. Piutang harus cepat masuk, hutang dikeluarkan belakangan

Masih berkaitan dengan arus kas, ini sebenarnya termasuk manajemen keuangan dasar. Namun karena masih pemula, ya masih belajar.

Ada satu waktu dimana kami sedang kebanjiran proyek. Alhamdulillaah.. Dikarenakan tidak memiliki admin keuangan khusus, saya sendiri yang menangani invoice untuk customer. Namun, karena pekerjaan teknis masih banyak, saya lebih fokus ke sana. Invoice ditunda dulu!

Selain itu, beberapa pekerjaan kami subkon ke freelancer. Prinsip saya, begitu pekerjaan mereka selesai sesuai progress, saya langsung bayar. Pembayaran ke freelance ini tidak seribet membuat invoice. Sehingga saya segera membayar mereka. Kisah lama terulang kembali, kas tidak cukup untuk bayar gaji. Jadi mulai buat invoice dan menagih customer. Hahaha..

6. Penjualan tidak harus dari klien baru

Ini salah satu pelajaran paling penting! Pelanggan adalah aset bisnis yang terbesar. Tanpa mereka bisnis bisa mati. Oleh karena itu, jagalah hubungan dengan pelanggan dengan baik.

Ketika sebuah proyek hampir selesai, saya berpikir harus mulai mencari klien baru, proyek baru. Agar mendapat pemasukan. Ini salah! Mencari pelanggan baru membutuhkan biaya 5x lebih besar daripada mempertahankan yang ada.

Jadi, untuk mendapat penjualan, Anda tidak harus selalu mencari klien baru. Anda dapat menawarkan jasa maintenance, pengembangan, atau pembangunan aplikasi baru. Jaga pelanggan Anda dengan memberikan pelayanan terbaik.

7. Tim adalah keluarga, tapi bisnis harus profesional

Kembali nostalgia dengan proyek di Kalimantan, saat itu saya memiliki tim dengan 12 orang personil. Di akhir pekan biasanya kami pergi ke sebuah taman dan menikmati gorengan dan ketan. Ketika itu ngopi belum terlalu tren. Hahaha.. Dilanjutkan dengan bermain futsal keesokan harinya.

Aktivitas tersebut menjadikan hubungan kami lebih erat, layaknya keluarga. Seiring waktu, ada kedisiplinan yang berkurang. Beberapa ada yang terlambat, membaca komik di jam kerja, sering keluar merokok, dan sebagainya.

Hal ini membuat saya harus mengambil tindakan tegas. Jam kerja diperketat, menggunakan aplikasi absensi. Merokok ada batas waktunya. Dan di jam kerja harus fokus. Jika ada yang melanggar, panggil dan tegur, beri sanksi. Tim memang keluarga, tapi bisnis harus tetap profesional.

8. Buat rencana bisnis yang jelas, sebelum mencari investasi

Ketika kami mendapat banyak proyek bersamaan, saya berpikir untuk mulai menambah karyawan. Dengan kondisi kas yang tidak terlalu banyak, saya mencoba untuk mencari investasi.

Saya buatlah rencana investasi yang menarik. Orang keuangan menyebutnya prospektus. Namun, ini tidak disertai dengan rencana bisnis yang solid.

Rincian biaya yang akan dikeluarkan, ada. Target penjualan, ada. Yang belum ada, bagaimana berbagai aktivitas yang memakan biaya itu dikonversi menjadi penjualan. Terlalu fokus pada angka-angka, return yang menarik untuk investor. Tapi tidak membuat rencana strategis untuk mencapai target penjualan.

9. Bisnis jasa tidak scalable!

Setelah beberapa tahun menjalani bisnis software house, saya berpikir bagaimana menaikkan omset, yang berdampak pada keuangan pribadi. Dikarenakan selama ini, omset naik, tapi yang saya pribadi peroleh tidak bertambah signifikan.

Setelah mencari referensi di internet, saya menemukan jawabannya. Bisnis jasa adalah bisnis yang skalabilitasnya kurang. Artinya apa? Ketika omset bisnis naik, biaya untuk membayar tenaga kerja juga naik. Sehingga secara margin, tidak ada kenaikan. Bahkan bisa berkurang karena adanya kenaikan biaya operasional dan lainnya.

Ada beberapa cara agar bisnis jasa ini scalable. Salah satunya adalah dengan membuat produk. Namun, saya belum berhasil meluncurkan produk software sendiri.

10. Skill itu penting, tapi attitude yang terpenting

Pada tahun 2015, saya seakan menemukan mutiara yang terpendam. Ada seorang buruh pabrik yang sedang putus asa ingin belajar menjadi programmer. Oke saya kontak dia dan beri soal tes programmer. Hanya dalam beberapa jam dia sudah mengirimkan jawabannya. Dan jawabannya menarik.

Besoknya saya panggil untuk diskusi di Jakarta Pusat. Dengan semangat dia memacu motornya dari Tangerang, dengan bermodal peta online saja. Dua kali dia berhasil membuat saya kagum. Saat berbincang, saya melihat bahwa dia memang cerdas. Hanya kurang beruntung dan salah pergaulan.

Akhirnya saya rekrut dia. Saya didik dengan baik. Saya persilakan menginap di workshop, agar tidak habis waktu pulang-pergi Jakarta-Tangerang. Bahkan saya beri modal untuk daftar kuliah. Namun, lagi-lagi karena salah pergaulan, lingkungan kuliah membuat kinerjanya menurun. Faktor usia juga mungkin, masih muda masih ingin bermain.

Skill memang penting, tapi attitude lebih penting. Ini sering disampaikan oleh para motivator, dan memang benar adanya.


Nah, sekian 10 hal yang saya pelajari dari pengalaman membangun bisnis IT software house. Sekian artikel kali ini, semoga bermanfaat untuk rekan-rekan pembaca.

Artikel Terkait Software House

List Software House di Berbagai Kota

6 thoughts on “Pengalaman Berbisnis IT Software House, Ini 10 Hal yang Saya Pelajari”

Leave a Comment

error: This content is protected by DMCA